Sekitar 19 -tahun lalu, di Lampung tepatnya di desa Way Jepara, umat Islam mengalami penindasan dan perlakuan yang buruk dari rezim pemerintahan orde baru di bawah presiden Soeharto. Di desa Way Jepara, terjadi pembantaian yang membuat ratusan jiwa kaum muslimin (versi pemerintah: 29 orang) meninggal dunia oleh tangan kotor pemerintah saat itu melalui Korem Garuda Hitam 043 Lampung.
Kaum muslimin di desa Way Jepara yang berada di bawah bimbingan ngaji Warsidi diserang oleh para pasukan loreng bersenjata lengkap pada saat subuh hari pada tanggal 7 Februari 1989. Para jamaah Warsidi ini dituduh memberontak dan merongrong Pancasila serta NKRI.
Saat itu, warga yang tengah terlelap tidur dikejutkan dengan suara letusan senjata api. Beruntun, rentetan senjata menembus tubuh warga orang tua, anak-anak, bahkan ibu-ibu yang tidak berdosa. Perlakuan serdadu berloreng tersebut sama sekali tidak menggunakan akal dan perikemanusiaan. Selain itu, sebelumnya, juga terjadi penculikan dan penangkapan terhadap jamaah pengajian yang dikenal Kelompok Warsidi atau Jamaah Mujahidin Fii Sabilillah.
Saat penyerbuan itu, berdasarkan laporan Kontras tentang kasus Talangsari, kampung dibakar dan kemudian ditutup untuk umum. Penyerbuan dilakukan menyusul dugaan adanya kelompok pengajian yang ingin mengganti Pancasila dengan asas Islam.
Salah satu tokoh di balik tragedi Talangsari atau Tragesi Lampung atau GPK Warsidi atau Jamaah Mujahidin Fii Sabilillah di Way Jepara, Jayus, menceritakan betapa dahsyatnya pembantaian yang dilakukan oleh aparat pada saat itu. Jayus mengaku menyaksikan sendiri sekitar ratusan korban meninggal yang dimakamkan di sekitar Talangsari akibat kejadian yang “menyakitkan” umat islam tersebut.
Dalam sebuah diskusi, Jayus menceritakan dan mengungkapkan seputar peristiwa tragedi Lampung akibat serangan aparat militer tersebut. Menurut Jayus, pada saat kejadian tanggal 7 Februari 1989 sejak subuh sekitar Pkl. 04.30 WIB, lokasi sekitar kompleks pengajian jemaah Warsidi di sana telah dikepung aparat militer bersenjata. Mereka kemudian diberondong dengan senjata
Pada sekitar Pkl. 08.00 WIB, umumnya penghuni rumah dan pondokan di sana telah habis dan yang tertinggal hanya nampak para orangtua, perempuan dan anak-anak yang bertahan tetap berada di dalam rumah-rumah di sana.
Jayus menyebutkan, saat itu justru rumah-rumah tersebut dibakar, sehingga para penghuninya umumnya tewas dengan kondisi pondokan telah hangus.
"Sulit saya melupakan kejadian itu sampai sekarang, karena terus terbayang-bayang," cetus Jayus.
Dia menuturkan, para korban umumnya dalam kondisi terbakar hangus hanya tinggal tulang belulang saja.
Para korban itu kemudian dikuburkan sehari setelah kejadian hingga beberapa hari kemudian.
Jayus menyebutkan, paling tidak selama tiga hari itu, setidaknya tiap hari dapat dikuburkan sekitar 50-an korban meninggal dunia walaupun proses penguburan juga belum sempurna, karena beberapa bagian tubuh diantaranya masih kelihatan.
Penguburan juga dilakukan kepada para korban yang ditemukan berserakan di sekitar persawahan, sungai, jalan-jalan di sekitar tempat kejadian.
"Tindakan aparat keamanan saat itu sangat biadab dan tidak berperikemanusiaan," tutur Jayus pula.
Setelah kejadian itu, lokasi sekitar pengajian Warsidi di Talangsari ditutup total oleh aparat TNI, hingga 5–6 bulan kemudian areal tersebut tidak boleh dimasuki masyarakat sekitar.
Jayus mendesak agar kasus Talangsari itu dapat diusut secara tuntas, sehingga para pelaku yang bertanggungjawab terhadap kematian sekitar ratusan orang–versi resmi pemerintah menyatakan yang meninggal hanya sekitar 29 orang–dapat diadili secara hukum.
Seorang tokoh lain dalam tragedi Lampung Berdarah itu, Sukardi dan Sudarsono mengakui bahwa saat itu di kompleks pengajian Warsidi tengah beraktivitas kelompok Islam yang bertujuan akhir untuk mendirikan cikal bakal Negara Islam Indonesia (NII).
Mereka mengaku tidak dapat berkompromi dengan aparat pemerintah dan aparat keamanan yang beberapa kali mengundang dan mengajak mereka berdialog dan menjelaskan aktivitas di sana.
Justru mereka yang minta camat dan Danramil (Kapten Sutiman yang tewas akibat tindakan warga) untuk datang bertemu penghuni pondokan yang kerap didatangi santri dan warga dari beberapa daerah di luar Lampung itu.
Kematian Danramil Way Jepara seusai mendatangi kompleks pengajian itu, diduga memicu tindakan aparat militer (TNI) kemudian mengambil tindakan keras terhadap mereka.
Namun, dengan dalih adanya Danramil yang tewas akibat ulah warga Talangsari maupun sikap mereka yang dianggap membangkang dengan pemerintah dan aparat saat itu, bukanlah alasan yang dapat membenarkan untuk melakukan penyerbuan secara militer.
"Karena itu, siapapun yang terbukti melakukan kesalahan dan tindak pidana di Talangsari saat itu, mesti dibawa ke pengadilan untuk diproses hukum secara adil," ujar Usman Hamid, Koordinator KONTRAS.
Penulis buku "Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung", Fadilasari yang juga jurnalis dan mahasiswa pasca sarjana Fak. Hukum Universitas Lampung (Unila) berharap, dengan kesaksian para korban Talangsari itu dapat menjelaskan kondisi sebenarnya saat peristiwa tersebut.
"Tidak ada tujuan politik atau motivasi untuk mengangkat masalah agama di dalamnya, kecuali berusaha mengungkapkan kejadian sebenarnya secara obyektif dan berimbang," tutur Fadilasari pula.
Kini penduduk Talangsari III yang berjumlah 102 KK atau 425 jiwa tersebar di empat RT. Kalau dulu penduduk desa tergolong dalam dusun yang tertinggal, kini mereka sudah menikmati berbagai kemajuan. Rumah-rumahnya yang dulu tak satu pun permanen, sekarang sudah ada 11 unit rumah permanen.
Sekarang sudah berdiri sebuah SD Negeri di Talangsari, yang berdiri sejak 1990. Juga satu-satunya masjid yang ada sudah berdiri permanen ukuran enam kali enam meter.
Demikian pula sarana pertaniannya, jika dulu penduduk bertani dengan usaha sawah tadah hujan, sekarang sudah ada irigasinya. Persoalan yang dihadapi dusun itu kini tinggalah masalah pupuk. Setiap kali menjelang musim tanam, warga selalu kesulitan mendapatkannya.
Sisa-sisa yang menjadi saksi bisu masih ditemukan. Antara lain bekas pondasi masjid yang dulu bernama Masjid Mujahidin dan sebuah sumur tua
0 komentar:
Posting Komentar